Kenapa Aku Nggak Mau Lagi Kejar “Produktif” Setiap Waktu
Dulu aku pernah bangga sekali menyebut diriku produktif. Pagi-pagi udah buka laptop, bikin desain, cek email, ngurus rumah, main sama anak, masak sendiri, posting konten, sempat olahraga juga. Sehari rasanya padat, tapi hati puas.
Tapi yang tidak aku sadari, tubuhku mulai protes diam-diam. Rasanya sering sesak, kepala berat, tidur tidak nyenyak, dan yang paling menyedihkan, aku mulai kehilangan kenikmatan dari semua yang aku kerjakan.
Dari luar, mungkin terlihat keren. Tapi di dalam, aku seperti robot yang digerakkan dengan baterai pinjaman. Lama-lama habis.
Jadi akhirnya aku duduk dan benar-benar tanya ke diri sendiri,
“Sebenarnya ini buat siapa sih?”
Apakah aku kerja sekeras itu karena aku senang? Atau karena aku takut disebut malas, tidak berguna, tidak update? Apakah aku benar-benar menikmati semua kesibukan ini? Atau sebenarnya aku cuma lari dari rasa bersalah karena tidak bisa seperti orang lain?
Dan dari sanalah semua berubah pelan-pelan.
Aku berhenti mengukur hari-hariku dari seberapa banyak pekerjaan yang selesai. Aku mulai kasih ruang buat hari-hari biasa. Hari-hari di mana satu-satunya hal produktif yang kulakukan cuma melipat baju atau ngajak anak jalan kaki sore-sore.
Aku berhenti merasa bersalah saat tidak buka laptop seharian. Atau ketika ide desain tidak muncul sama sekali. Karena sekarang aku tahu, otak juga butuh tidur, bukan cuma tubuh.
Ada satu titik di mana aku sadar bahwa hidup bukan balapan.
Aku tidak sedang bersaing dengan siapa pun.
Tidak dengan ibu-ibu lain yang terlihat multitasking di Instagram. Tidak dengan freelancer yang kerja di Bali dengan view pantai. Tidak dengan timeline yang tiap hari pamer hasil kerja dan prestasi.
Aku cuma ingin hidup dengan sadar.
Dan itu artinya menerima bahwa hari-hariku tidak selalu penuh to-do list. Kadang satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah menemani anak nonton kartun, lalu tidur lebih awal karena badan lelah.
Sekarang, yang kusebut produktif itu bukan cuma soal pekerjaan. Tapi juga hal-hal kecil yang sering disepelekan. Merapikan pikiran. Mengosongkan hati dari perasaan tidak berguna. Memberi waktu buat ngobrol sama pasangan tanpa buru-buru.
Ada hari-hari di mana aku cuma duduk di teras, lihat langit, sambil mikir,
“Oh, ternyata hidup bisa begini juga ya. Tidak ngoyo, tidak harus selalu penuh pencapaian.”
Dan anehnya, justru di saat aku mulai berhenti mengejar produktivitas tiap waktu, aku bisa kerja lebih jernih. Ide desain datang tanpa dipaksa. Waktu main sama anak terasa lebih utuh.
Mungkin karena aku sudah tidak menaruh seluruh harga diriku di hasil kerja. Tapi di cara aku menjalani hari.
Jadi ya, sekarang aku tidak terlalu ngotot lagi soal jadi produktif.
Yang penting, aku tetap hidup dengan hati yang penuh.
Kenapa Aku Nggak Mau Lagi Kejar “Produktif” Setiap Waktu
Reviewed by Rian Nofitri
on
3:08:00 AM
Rating: 5