Embun
Untukmu,
Embunku di tempat terindah.
Pagi nan indah. Ditemani segelas susu coklat dan selapis roti bakar.
Aku mau tahu apa yang kau lakukan pagi ini? Apakah masih sama seperti saat itu?
Ketika aku bangun dari tidur, tak kudapati dirimu di sampingku. Kemanakah, batinku. Kulihat jam beker di atas meja sebelah tempat tidur. Masih jam 4 subuh. Mungkin kau beranjak sholat, karena aku tidak sholat maka kau juga tidak membangunkanku.
Hampir satu jam kucoba melanjutkan tidur, namun apalah daya mataku tak mau menuruti majikannya. Ya sudah, pikirku. Mungkin aku bisa menyiapkan sarapan untuk kita. Kuambil ikat rambut lalu ku gulung uraian rambutku. Merapikan piyama dan tak lupa kubuka gorden jendela.
Cahaya mentari menyilaukan pandangan sesosok makhluk yang baru saja terbangun dari mimpi panjangnya sepertiku. Seperti vampir, kusilangkan tangan ke arah pelipis untuk menutupi kontak langsung dengan cahayanya. Kupicingkan kedua mata untuk menangkis banyaknya cahaya yang terserap. Terbukalah jendela dari kaitnya, dan hmm... aroma pagi yang menyegarkan.
Kulihat dari dalam kamar, kudapati kau sedang terduduk di bangku panjang milik kita. Terletak tepat di samping kebun yang selalu kuurus selepas ba'da ashar. Ah, apa yang kau lakukan disana? Bukannya memelukku di sepanjang pagi ini malah duduk menyendiri di bangku taman.
Kupandangi sosokmu yang tegap dengan santai menyandarkan awakmu di sandaran bangku. Apa yang kau gumamkan? Seulas senyum terpampang tak lama setelah kau bergumam. Mungkin kau membayangkan hal aneh-aneh, batinku. Dih.
Kau pejamkan mata, menarik nafas dalam dan menghembuskan perlahan. Kau ulangi sekali lagi. Dan sekali lagi. Kau lakukan sampai tiga kali. Ah, melihatmu seperti itu aku jadi reflek melakukan hal yang sama.
Kulupakan niatku membuat sarapan. Kakiku ingin saja melangkah mendekatimu, kuhampiri dirimu yang tetap saja memejamkan mata seakan tertidur. Tak sadar akan kehadiranku sama sekali. Dasar.
Hampir kau hiraukan aku selama lima detik, sebelum kukecup hidungmu nan mancung bak turis.
Ya, kau lihat aku dengan senyum simpul di bibir.
“Apa yang mas lakukan disini?” tanyaku. Tak langsung kau jawab pertanyaan sederhana tersebut. Kau persilakan aku duduk di sampingmu, kau letakkan tanganmu melingkari pundakku, menyandarkan kepalaku di bahumu. Kuturuti. Hanya dengan begini, aku merasa kau sudah sangat manis.
Kau mulai bercerita. Sesekali mengecup ubun-ubunku. Ku dengarkan dengan seksama. Tanpa menyela sedikitpun. Kau tahu bukan, aku tipe orang pendengar. Dan kau bilang kau menyukainya, maka aku pun semakin menyukai kebiasaan mendengarku. Apalagi mendengarmu bercerita dan menasehatiku bermacam-macam hal.
Kau bilang, sejak adzan subuh kau sudah beranjak ke masjid. Selepas pulang, kau mengunjungi kebun kita untuk sekedar melihat embun. Namun akhirnya aku tahu, kau selalu seperti itu setiap subuh.
Kau bilang, menikmati embun yang setia hadir sebelum dan atau saat mentari terbit dari ufuk timur adalah hal yang menyenangkan. Lalu kuingat setiap kalimat yang kau ucapkan kala itu, “Aku menyukai embun, dek. Embun mengajarkan arti menunggu dan kehilangan. Ketika kau mau menemui hal indah, maka kau harus menunggu dengan sabar. Untuk menikmati sejuknya embun, pengorbanannya adalah waktu. Ia akan datang dengan cara menakjubkan dan tiada diduga. Bahkan disaat yang tepat pula. Allah mengajarkan hal tersebut melalui ciptaan-Nya; embun. Kau harus menunggu semalam penuh untuk bisa menjumpainya. Embun juga mengajarkan arti kehilangan. Karena waktu juga yang akan membunuhnya.”
Kau menghela nafas dengan perlahan. Aku juga menunggumu melanjutkan cerita, tak kubiarkan diri ini bertanya. Kutunggu kau menyelesaikan penjelasanmu.
“Saat seperti itulah yang sesungguhnya membuat kita terus berusaha memperbaiki diri sebelum bertemu dengannya. Ketika sudah datang waktu yang tepat itu, kau akan bersegera mempersiapkan diri, mengabaikan sekitarmu, berlari menjemput kedatangannya. Menemuinya. Menyilakan ia memasuki ruang kosong di hatimu. Manis sekali. Tak tergesa-gesa.
Hanya dengan melihatnya dari jauh saja kau sudah sangat senang. Apalagi sampai bisa mendekatinya. Walau mungkin tak bisa kau sentuh, namun itu tak menghiraukanmu untuk tetap menyaksikannya datang dengan secercah harapan baru. Membuatmu tak bisa beranjak dari tempat kau berdiri. Kau bahkan sudah kelelahan akibat berlari, akan tetapi pandanganmu tak kau alihkan barang sedetik. Tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
Kau tahu, pertemuan itu tak akan berlangsung lama. Makanya kau kukuh berdiri bak patung. Mengamati, memperhatikan, berdecak kagum tak henti-henti.
Waktu terus berjalan tanpa mau memahami keadaanmu yang masih ingin bersamanya. Pertemuan yang selalu diiringin dengan perpisahan.
Walau kau tau ia akan pergi, kau tak lantas mengambil atau menghampirinya. Kenapa? Kupikir karena kita bisa jadi malah tidak bisa menikmatinya lagi. Bukankah dengan begini semua akan baik-baik saja tanpa perlu kau ikut campur? Jika kau sentuh dan berniat ingin mengambil embun di setiap helai daun, maka tak akan ada lagi yang namanya embun. Hilang.
Jika tetap kau biarkan ia berjalan sesuai kehendak. Kau akan lebih memiliki banyak kesempatan menikmatinya. Bahkan ketika ia pergi, bisa jadi kau akan mempunyai kesempatan lain bertemu lagi. Walau memang tanpa kau mendekatinya, ia akan tetap pergi. Tak mengapa bukan? Setidaknya kita harus memahami satu hal dalam hidup ini. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Setiap kehadiran pasti disertai kehilangan.”
Susu dan roti bakar sudah habis sedari tadi. Senyum terakhirmu mas. Lebih manis dari susu dan roti bakar ini. Mengenang kalimatmu selalu membuatku merindu. Masih banyak cerita dan hal manis yang bisa kukenang, namun kau pasti membenciku karena terlalu banyak melamun. Tapi saat ini aku pun tak akan bisa lagi mendengar nasehatmu. Hanya ini yang bisa kulakukan. Kuhabiskan waktuku untuk mengorek kenangan kita. Terutama petuah-petuah bijak yang tak lelah kau sampaikan, meski berulang kali.
Embun; setelah kau dan aku melewati masa menunggu dan saling bertemu. Kehilangan ini berbeda dengan kehilangan embun. Kehilangan ini tak akan bisa menemukan kesamaan esok harinya. Tak bisa kudapati lagi sosok dirimu berada di samping ku tertidur.
Kau memang menghilang dari kehidupanku. Namun kau tetap kutemui disetiap bait doaku. Kau menetap di hatiku. Entah apa yang telah kau perbuat pada diriku.
Kau pergi. Namun aku yakin, kelak kita akan bertemu kembali. Kucoba memahami kehilangan yang sebenarnya. Kucoba memperbaiki diri agar menjadi mengagumkan seperti dirimu yang kukagumi. Jika bertemu kembali, tak akan lagi kusia-siakan pertemuan kita.
Selamat jalan.
Sampai jumpa di perabadian, mas.
Salam kangen,
Dek♡
Embun
Reviewed by Ayajnasnair
on
9:00:00 AM
Rating: 5