Pagi itu, udara di dalam kamar masih lengket. Laptop yang sudah mulai uzur menyala di meja kayu bergores. Kopi hitam mendingin perlahan di dalam cangkir tanah liat yang kusam di pinggir meja. Aku menatap layar, terpaku pada satu pertanyaan di Quora: "Apa yang membuat sebuah logo menjadi hebat?"
Pertanyaan itu sederhana, nyaris remeh. Tapi saat kubaca jawabannya—yang sudah di-upvote ribuan kali—aku merasa seperti sedang menyimak percakapan antara seorang pertapa dengan pejalan yang baru memulai ziarah.
Jawaban yang menohokku tidak bicara teknis terlalu banyak. Ia tidak membanjiri dengan jargon branding, atau menunjuk tren desain yang tengah naik daun. Ia justru bicara tentang rasa. Tentang bagaimana logo yang baik adalah yang bisa hidup dalam diam. Ia tidak memekik, tidak menunjuk-nunjuk. Tapi ia menetap di benak.
Logo yang baik, katanya, adalah seperti senyuman seseorang yang tak kau kenal, tapi entah mengapa membekas sampai malam. Ia sederhana, tapi tidak bodoh. Ia jujur, tapi tidak polos. Ia menyimpan cerita, walau tak berkata apa-apa.
Lalu ia memberi contoh. Apple, Nike, FedEx. Semua logo itu bisa digambar oleh anak kecil. Tapi di balik garis-garis itu ada lapisan-lapisan filosofi, sejarah, dan kecerdikan. Bukan rumit, tapi rumit untuk dibuat sesederhana itu.
Aku terdiam lama.
Bukan karena belum pernah mendengar hal-hal semacam itu, tapi karena aku menyadari: sebagai desainer, kita kadang terjebak. Terjebak dalam keinginan untuk terlihat pintar. Terlalu sibuk bermain bentuk dan warna sampai lupa bahwa logo itu bukan untuk pamer estetika, melainkan untuk menjadi jembatan. Jembatan antara merek dan manusia.
Sore harinya, aku membuka folder lama. Sketsa-sketsa masa kuliah, logo-logo pesanan teman yang dibayar dengan nasi goreng dan teh manis. Aku tersenyum. Ada yang absurd, ada yang malu-malu, ada pula yang menggemaskan dalam ketidaksempurnaannya.
Tapi di antara semua itu, ada satu-dua yang masih terasa "benar". Bukan karena bentuknya istimewa, tapi karena waktu menggambarnya aku sedang benar-benar mendengarkan. Bukan hanya pada klien, tapi juga pada intuisi sendiri.
Aku jadi teringat satu bagian dari jawaban Quora itu:
"Logo yang hebat adalah yang tidak berusaha keras menjadi hebat. Ia hanya jujur pada tujuannya. Ia tahu siapa dirinya dan siapa yang ingin diajak bicara."
Bukankah itu juga berlaku pada kita, manusia?
Kita terlalu sering berusaha keras menjadi istimewa, sampai lupa bahwa yang paling mengena justru kesederhanaan yang jujur. Logo, seperti manusia, hanya perlu mengisi ruang kosong dengan kehadiran yang utuh.
Kini, setiap kali aku diminta merancang logo, aku tidak buru-buru mencari inspirasi di Pinterest. Aku duduk dulu. Menuliskan apa yang sebenarnya ingin disampaikan. Siapa yang ingin diajak bicara. Mengapa merek itu harus hadir.
Karena desain yang baik, bagiku, adalah ketika bentuk tidak cuma dilihat, tapi dirasakan. Dan logo yang baik bukan yang keras bicara, melainkan yang diam tapi bicara.
Dan mungkin, di situlah letak kehebatannya.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments:
Berkomentarlah seperti kalian bertamu ke rumah seseorang. Adab yang baik menimbulkan kesan yang baik pula. Terima kasih.
Rian Nofitri