Harapan yang Dilipat di Sela-Sela Popok
Pernah ada masanya aku berpikir bahwa hidup setelah menikah akan seperti film indie yang datar, penuh cahaya alami, dan segala sesuatunya akan tertata dengan tone warna pastel. Di sana aku bisa terus berkarya, sambil mengasuh anak dengan sabar, dan tentu saja sambil menyeruput teh hangat di sore hari. Tapi kenyataannya... yah, popok tidak punya tone warna pastel. Apalagi yang bocor.
Aku tidak mengeluh. Atau setidaknya, tidak sering. Tapi memang ada momen di mana aku hanya bisa duduk di ujung ranjang, memandangi cucian yang belum dilipat, dan bertanya dalam hati, “Kerjaan desain itu kapan bisa disentuh lagi?”
Dulu, sebelum jadi ibu, desain itu seperti teman lama yang selalu ada. Aku bisa menenggelamkan diri dalam ide, bentuk, warna. Tapi sekarang, untuk sekadar membuka laptop saja, aku harus menunggu anak-anak tidur. Dan itu pun belum tentu berhasil. Kadang mereka bangun lagi, minta susu. Kadang aku ketiduran duluan. Waktu jadi seperti sisa nasi—dipungut seadanya, dipanaskan, dan harus cukup.
Aku pernah merasa kehilangan arah. Maksudku, aku tahu jalan ini yang kupilih. Menikah, punya anak, menjalani hidup rumah tangga sambil tetap bekerja dari rumah. Tapi tidak ada yang benar-benar bisa mempersiapkanmu untuk rasa bersalah karena membalas chat klien saat anak demam. Atau rasa frustrasi karena tenggat waktu tinggal dua hari tapi laptop baru bisa dibuka tengah malam dengan mata setengah waras.
Menata harapan di tengah kerjaan dan popok itu bukan soal memilih. Bukan antara “mau jadi ibu penuh waktu” atau “mau tetap kerja demi aktualisasi diri.” Karena pada akhirnya, dua-duanya tetap kulakukan. Dalam satu tubuh. Satu pikiran. Satu napas. Tidak selalu berhasil, tentu saja. Tapi kupaksakan karena aku ingin punya ruang. Ruang untuk tetap bermimpi.
Dan ternyata, harapan itu tidak selalu megah. Kadang bentuknya kecil. Seperti bisa menyelesaikan satu desain hari ini. Atau bisa baca artikel desain tanpa distraksi. Atau bisa bilang “tidak apa-apa” saat pekerjaan tertunda karena anak sakit.
Aku tidak ingin jadi perempuan yang sempurna. Aku hanya ingin tidak menyerah. Karena aku percaya, di balik popok yang harus diganti, atau malam-malam yang panjang tanpa tidur, aku masih bisa mencintai dunia desain seperti dulu, hanya saja, caranya berbeda.
Sekarang aku belajar mencuri waktu, bukan menciptakan. Karena waktu tidak pernah benar-benar tersedia. Harus dicuri. Diselipkan di antara cucian dan tangisan, di antara masakan gosong dan bocah yang nyangkut di bawah meja. Dan di situlah aku menata ulang harapan. Bukan mimpi besar yang harus dicapai lima tahun lagi. Tapi mimpi kecil yang bisa didekap malam ini. Mimpi sederhana untuk terus hidup sebagai perancang, bukan hanya desain visual, tapi juga desain hidup.
Kadang aku iseng membayangkan anak-anak nanti membaca blog ini. Mereka mungkin akan tertawa, membayangkan bundanya duduk di lantai dengan punggung sakit, sambil mencoba menggabungkan warna untuk desain packaging, sementara mereka rebutan remote TV. Tapi aku harap mereka tahu satu hal: bahwa bundanya tidak pernah berhenti mencoba. Tidak pernah berhenti bermimpi. Tidak pernah benar-benar kehilangan dirinya.
Meski sekarang harapan itu bentuknya tidak selalu indah, meski tertulis di atas sticky notes yang menempel di kulkas, atau disisipkan di balik kalender keluarga, iya harapan itu masih ada. Bertahan. Pelan-pelan bertumbuh, seperti anak-anak yang terus membesar, satu inci demi satu inci.
Dan semoga, saat mereka cukup besar untuk mengerti, mereka tahu bahwa hidup ini memang tidak selalu pastel. Tapi selalu bisa dicintai, asal mau terus menatanya—di sela kerjaan, di antara popok.
Harapan yang Dilipat di Sela-Sela Popok
Reviewed by Rian Nofitri
on
12:05:00 PM
Rating: 5