Sebenarnya aku tidak pernah benar-benar punya ruang kerja. Bahkan saat masih kuliah desain pun, “ruang kerja” itu cuma sebatas pojok kamar yang meja belajarnya menempel ke dinding, berhadapan dengan kipas angin yang berdengung halus. Tapi waktu itu, semuanya terasa lapang. Ada ruang di kepala, ada ruang di dada, dan yang lebih penting: ada ruang waktu. Malam panjang sering kulari dengan menata ulang komposisi, memotong kertas, atau iseng mengganti warna background sampai subuh. Tidak ada yang menunggu bangun, tidak ada suara tangis yang minta disuapi atau dipeluk. Hanya ada aku, dan layar laptop tua yang setia.
Lalu waktu bergerak cepat, dan hari ini, ruang kerja itu... ya, kalau bisa disebut “ruang”, letaknya di antara rak mainan dan setrika. Ukurannya kira-kira satu meter persegi. Meja lipat, yang dulunya meja belajar kakak, kini jadi tempat segala: laptop, buku sketsa, botol minum, kertas coretan, dan seringnya mobil-mobilan Hot Wheels, atau potongan lego kecil yang entah datang dari mana.
Anak-anakku tidak pernah benar-benar mengerti kenapa bundanya butuh duduk di sana. Buat mereka, kalau Bunda duduk, artinya bisa dipeluk. Kalau Bunda buka laptop, artinya boleh nonton YouTube bareng. Kalau Bunda ambil pena, ya itu mainan. Dan aku pun tidak selalu menolak. Karena sungguh, lebih mudah memindahkan kursor desain daripada menjauhkan anak kecil dari pangkuan.
Pernah suatu hari, aku sedang revisi desain untuk klien yang cukup cerewet. Revisi yang keempat belas, kalau tidak salah. Aku baru saja memindahkan elemen foto ke sisi kanan, mencoba menyeimbangkan visual, ketika si tengah datang membawa satu set teh-tehan dari plastik, dan meletakkannya persis di atas tablet penaku. Katanya, “Bunda minum teh dulu, aku jualan teh, es krim sama makanan.” Aku bengong. Teh plastik rasa kasih sayang itu akhirnya kupilih dibanding revisian. Klien bisa menunggu. Tapi masa anak-anak? Mereka tidak akan ulang usia dua tahunnya.
Ruang kerja mini ini memang bukan Pinterest-worthy. Tidak ada lampu aesthetic, tidak ada rak kayu dengan label rapi, apalagi kursi ergonomis. Tapi di sinilah banyak hal lahir: dari desain label minuman tetangga yang baru buka usaha, sampai draft artikel blog yang kubuat diam-diam saat anak-anak tidur siang.
Kadang aku iri juga lihat ruang kerja orang lain yang rapi. Warna senada, pencahayaan alami, dan tanaman kecil di pojokan. Tapi kemudian aku sadar, aku bukan desainer showroom IKEA. Aku bukan influencer desain interior. Aku ibu yang berusaha mencintai hidupnya dengan cara paling sederhana: memberi waktu untuk diri sendiri, meski hanya di sela tumpukan mainan dan sisa roti kering.
Dan sejujurnya, aku lebih suka begini. Karena di meja kecil ini, aku tidak sendirian. Ada suara, ada tawa, ada jejak tangan kecil di kertas sketchbook, ada stiker kartun tempel di pojok layar. Di sini, semua rasa hadir: frustrasi karena kursor tidak mau geser, bahagia karena hasil desain akhirnya sesuai keinginan, haru karena anak tiba-tiba bilang, “Aku sayang Bunda.”
Ruang ini mungkin tidak layak dimuat di majalah desain, tapi bagiku, ini ruang paling jujur yang pernah kupunya. Tidak sempurna, tidak luas, tapi hangat. Dan dalam hangat itu, aku menyusun ulang definisi “bekerja” dan “berumah” dua hal yang dulunya kupikir harus dipisah, kini malah hidup berdampingan. Saling menyela, saling memeluk.
Kalau suatu hari nanti anak-anakku sudah besar dan aku akhirnya punya ruang kerja sendiri yang rapi dan sepi, mungkin aku akan merindukan masa ini. Masa di mana aku harus mengetik sambil digelitik, masa di mana revisi desain bersaing dengan ajakan main masak-masakan, masa di mana meja kecil ini menampung dunia: dunia kerja, dunia main, dunia cinta.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments:
Berkomentarlah seperti kalian bertamu ke rumah seseorang. Adab yang baik menimbulkan kesan yang baik pula. Terima kasih.
Rian Nofitri