Belajar Menolak dengan Cara yang Lembut

Aku dulu termasuk tipe yang sulit bilang tidak. Entah karena merasa sungkan, atau takut bikin orang kecewa. Rasanya menolak itu seperti menolak cinta di depan umum, bikin tidak enak sama-sama. Jadi daripada repot, aku iyakan saja dulu, urusan belakangan.

Tapi ternyata, jadi ibu rumah tangga yang juga kerja freelance, kamu akan cepat belajar bahwa mengiyakan semua hal bisa jadi cara tercepat menuju burnout.

Awalnya bentuknya kecil. Menyanggupi revisi desain tengah malam padahal anak lagi rewel. Bilang “oke” ke klien minta meeting jam delapan pagi, padahal baru tidur dua jam. Atau menerima ajakan nongkrong karena merasa tidak enak menolak, padahal badan rasanya sudah seperti lemari baju yang kebanyakan isi.

Aku pernah menangis hanya karena ditanya, “Bisa bantu ini sebentar nggak?”

Bukan karena permintaannya berat. Tapi karena aku sadar, aku sudah terlalu sering melampaui batasku sendiri hanya demi jadi orang yang ‘baik’.

Dan dari situlah pelan-pelan aku belajar. Bahwa menolak bukan berarti jahat. Menolak bukan berarti egois. Kadang justru itu satu-satunya cara kita bisa bertahan waras.

Tentu saja aku tidak langsung jago. Ada kalanya mulut ini masih kepeleset bilang “boleh” padahal hati sudah ribut sendiri. Tapi setidaknya, aku sekarang tahu bahwa menolak itu bisa dilatih.

Caranya pun tidak harus keras.

Aku belajar memakai kata-kata yang jujur tapi tidak menyakitkan. Kalimat seperti,
“Sepertinya aku belum bisa ambil ini sekarang,”
atau
“Boleh aku pikirkan dulu dan kabari besok ya,”
atau yang paling sering kupakai,
“Saat ini aku lagi penuh banget, takut tidak bisa maksimal kalau dipaksakan.”

Kalimat-kalimat seperti itu sederhana, tapi menyelamatkanku dari banyak hal.

Menolak juga bukan soal kata-kata doang. Tapi tentang keberanian menjaga ruang sendiri. Ruang untuk istirahat, untuk bersama anak, untuk berkarya tanpa diburu. Kadang aku harus menolak tawaran proyek yang sebenarnya menarik, hanya karena tahu kalau dipaksa ambil, aku akan mengorbankan waktu tidur yang sudah langka.

Dan rasanya tidak selalu enak.

Ada rasa bersalah. Ada rasa takut dianggap tidak profesional. Tapi kalau terus-terusan memaksakan diri hanya demi citra, yang rusak duluan justru yang paling berharga dalam hidup: kesehatan dan keluarga.

Sekarang aku percaya bahwa menolak dengan cara yang lembut bukan cuma mungkin, tapi penting. Karena kita semua hanya manusia. Butuh waktu untuk bernapas. Butuh ruang untuk mengisi ulang. Butuh kesempatan untuk bilang, “Maaf, aku tidak bisa.”

Dan kadang, dari penolakan yang jujur itu, justru muncul penghargaan. Orang lain jadi lebih ngerti batasan kita. Dan kita pun belajar lebih mengenal diri sendiri.

Menolak bukan menutup pintu, tapi memilih jalan. Supaya hidup tetap terasa punya arah, bukan hanya ikut arus.

Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang menyenangkan semua orang. Tapi tentang berdamai dengan diri sendiri.

Pelan-pelan, aku belajar. Menolak dengan cara yang lembut, dan merasa tidak bersalah karenanya.

No comments:

Berkomentarlah seperti kalian bertamu ke rumah seseorang. Adab yang baik menimbulkan kesan yang baik pula. Terima kasih.

Rian Nofitri

Powered by Blogger.