Waktu itu, pagi belum benar-benar jadi pagi. Langit masih gelap, dan aroma air panas dari ceret belum juga bercampur dengan bubuk kopi. Tapi mata sudah terbuka. Bukan karena alarm, bukan pula karena semangat yang membara hendak menaklukkan dunia desain seperti masa muda dulu, melainkan karena si bungsu menggeliat pelan di sebelah, dan tubuh ini entah kenapa lebih memilih bangun ketimbang menunggu tangisan kecil yang biasanya datang tiga menit setelahnya.
Aku menyusup pelan-pelan dari balik selimut yang hangat, berjalan setengah mengendap di antara mainan yang berserakan, dan akhirnya duduk di depan meja. Meja kecil, yang dulunya dipakai untuk ngerjain revisian klien jam 11 malam, sekarang jadi tempat segala: tempat menyusun daftar belanja, tempat ngelipet baju, tempat anak main plastisin, dan kadang kalau sedang beruntung itu sebagai tempatku mengingat siapa diriku dulu.
Sudah hampir enam tahun sejak terakhir kali aku benar-benar duduk tenang, membuka file desain bukan karena permintaan orang lain, tapi karena ingin. Enam tahun bukan waktu sebentar untuk membiarkan sesuatu yang dulu begitu melekat menjadi samar, nyaris lenyap. Dan selama itu pula, aku belajar menjadi ibu rumah tangga: profesi yang tidak pernah selesai jam lima sore, yang tidak punya tunjangan hari raya, tapi penuh dengan hal-hal kecil yang tidak bisa digaji seperti melihat anak pertama belajar menulis namanya, atau mendengar si kecil tertawa karena bisa meniup gelembung sabun untuk pertama kalinya.
Aku tidak pernah benar-benar meninggalkan dunia desain, tapi aku juga tidak bisa bilang bahwa aku tinggal di dalamnya. Kami, aku dan desain, semacam pisah kamar. Saling tahu, saling rindu, tapi harus sabar menunggu waktu yang tepat. Dan pagi-pagi seperti ini, sebelum anak-anak bangun, sebelum dapur ramai dengan suara wajan, sebelum ada yang bertanya mana celana dan sarapan apa hari ini; adalah waktu yang kupunya. Dua jam, kadang hanya satu, untuk kembali menyapa dunia bentuk dan warna.
Lucu ya, dulu aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam cuma buat nyari font yang pas. Sekarang? Aku punya waktu setengah jam, dan aku harus selesai layout satu postingan, balas dua email, dan kalau bisa sambil nyeruput kopi tanpa lupa rasanya.
Tapi jangan salah, meskipun sekarang aku tidak punya studio dengan meja kerja besar atau jadwal kerja rapi seperti zaman dulu, aku justru merasa lebih jernih. Dulu aku desain karena itu pekerjaan. Sekarang aku desain karena aku butuh. Butuh ruang untuk bernapas, untuk merasa hidup sebagai diriku sendiri, bukan hanya sebagai “ibu dari tiga anak” atau “istri dari si anu.” Di balik layar laptop yang kadang penuh remah biskuit, aku menemukan lagi bagian dari diriku yang sempat hilang: orang yang senang mencocokkan warna, menyusun komposisi, dan menikmati ketidaksempurnaan dari garis tangan sendiri.
Aku tidak tahu apakah suatu saat aku akan kembali ke dunia profesional dengan penuh, atau apakah nanti aku hanya akan tetap di sini, di sela waktu tidur anak-anak, di sudut ruang tengah yang sunyi. Tapi aku tahu satu hal: aku ingin terus membuat sesuatu. Meskipun kecil. Meskipun pelan. Meskipun cuma satu desain sebulan.
Kadang aku membayangkan: mungkin nanti, kalau anak-anak sudah besar, aku akan punya waktu lebih banyak. Tapi untuk sekarang, dua jam di pagi hari, sebelum dunia kembali ramai, adalah ruang suci yang tidak kutukar dengan apapun. Di sanalah aku kembali mengingat bahwa menjadi ibu tidak membuatku berhenti menjadi apa-apa. Aku masih bisa jadi pencipta, meski medianya berubah, meski ritmenya tidak sama.
Dan siapa tahu, dari dua jam itu, akan lahir sesuatu yang jauh lebih besar dari yang pernah kubuat dulu, sesuatu yang lahir dari cinta, bukan dari deadline.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments:
Berkomentarlah seperti kalian bertamu ke rumah seseorang. Adab yang baik menimbulkan kesan yang baik pula. Terima kasih.
Rian Nofitri