Andai Hidup Tak Berevolusi

Jauh kaki melangkah menuju tujuan yang berbeda, memisahkan senda gurau yang selalu menjadi bahan pembicaraan yang tak ada arti namun berkesan. Seandainya hidup ini tak pernah berevolusi, mungkin kita masih bisa memakan coklat seharga lima ratusan dari kantin depan kelas. Masih bisa berebut menyetel radio hanya untuk mencari saluran yang memutarkan lagu favorit. Apalagi hanya untuk sekedar duduk berdua di depan gerbang sekolah untuk berbicara hal-hal aneh atau menunggu jemputan sepulang sekolah, pasti masih bisa dilakukan.

Ada suatu prosa dari penulis favoritku, aku kutip dari buku terlarisnya yang berjudul, "Filosofi Kopi"

Spasi (1998)
Seindah apapun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?
Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.
Napas akan melega dengan sepasang paruparu yang tak dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali. Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Jadi, jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.
Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat. Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.
Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring dan bukan digiring.


Bukankah saat ini sudah ada jarak antara kita? Merasa bebas untuk bergerak, mencari kesibukan dengan caranya masing-masing. Namun apakah seperti ini jarak yang dimaksud? Jarak yang seharusnya saling mengerti menjadi jarak yang tak mau lagi bertemu walau lewat mimpi. Jarak yang harusnya bisa membuat kita saling menyayangi namun malah menjadi jarak yang tak mau memahami.

Sejak saat kau pergi, aku berharap bisa terus menjadi bagian hal yang bisa kau ingat saat ingin mencari teman. Saat kau butuh bantuan. Atau sebagai bagian kecil yang terlintas saat kau mencari orang yang peduli denganmu.

Tapi benar, aku tidak bisa memaksamu.

Dalam agamaku diajarkan berbaik sangka, seharusnya memang hanya itu yang bisa kulakukan. Kupikir saatnya aku menjadi diriku yang tanpa dirimu lagi.

Saat kita bertemu, memang aku yang terlebih dulu mendekatimu. Mengajak berkenalan dan berbicara banyak hal aneh. Cukup dengan melihat gigi rapimu dan senyummu mengembang menjadikanku mempunyai rasa ingin selalu berada disampingmu. Kau yang berpikir realistis dan aku yang memiliki kepribadian acak acakan. Kombinasi yang aneh. Kadang pertengkaran kecil yang kita lakukan selalu berakhir dengan sikapmu yang selalu ingin menang sendiri, tidak perduli seberapa berusahanya aku mencari kosa kata yang tepat untuk menimpali keras kepalanya dirimu.

Banyak hal yang masih ingin aku bagikan denganmu.

Walaupun sekedar satu kalimat dari ribuan paragraf yang tak aku tulis.

Semenjak hilangnya dirimu, tanpa kabar, aku seakan kehilangan cahayaku selama tiga tahun itu. Tiga tahun, waktu yang kuhabiskan untuk mengenal, mengenal dan mengenalmu lebih banyak. Waktu itu kupikir aku yang mengerti dirimu lebih dari orang lain, tapi aku masih kalah dengan hadirnya laki-laki itu kedalam kehidupanmu. Laki-laki yang masuk tanpa permisi, mengusik ketenangan cerita kita.

Jika ini adalah sebuah dongeng, mungkin buku yang menuliskan "Tamat" pada akhir cerita kita waktu itu ingin sekali aku hapus. Aku ingin membuat permohonan agar cerita kita diulang, kembalikan dirimu kepadaku, biarkan aku menjadi penyihir jahat yang berusaha menculikmu darinya. Menculik sang putri yang telah berbahagia dengan sang pangeran.

Sayangnya hidupku ini sudah diatur. Bukan sayangnya, namun begitulah skenario untukku. Sebagai pemeran, aku hanya bisa menuruti dan menjalaninya agar tetap menjadi aktris yang tidak mengecewakan sutradara.

Namun, ada kalanya kau terus tumbuh di dalam penantianku. Menjadi sosok yang terus membuatku berpikir ingin menjadi seseorang yang berarti untukmu. Walaupun hanya sekedar menjadi orang yang mempunyai status "teman lama" di dalam kamusmu.

Ruang dihatiku masih menyisakan hal hal manis. Aku selalu memikirkan yang manis-manis tentangmu, tentang kita, tentang makanan, tentang apapun.

Aku berbisik dalam barisan permohonan, berharap kita akan ditemukan dalam keadaan yang manis. Menceritakan kenangan manis kita. Menceritakan apa yang perlu diceritakan, memendam apa yang perlu dipendam, menepis hal yang sekiranya perlu ditepis. Pertemuan yang menjadikan kita mengingat betapa dekatnya kita dan betapa manisnya pertemanan kita dalam kurun waktu tiga tahun tersebut. Ceritakan bahwa kau juga merindukanku seperti aku merindukan kita.
 


Penyihir ini tak sejahat yang kau kira, penyihir ini tak punya kemampuan membuat ramuan jahat untuk dibubuhkan ke dalam apel seperti dongeng si Putri Tidur, penyihir ini hanya dapat menciptakan ramuan kenangan manis disetiap pertemuannya dengan seseorang. Dan kau adalah salah satunya. Kadang ramuan itu gagal karena datangnya pangeran hatimu, ramuan itu akhirnya berbalik kepada si penyihir sendiri. Kesenduan hati melukai penyihir tanpa henti. Tak ada penangkal, tak ada penawar.
Powered by Blogger.